THE ANGER
Kehidupan
merayap masuk memenuhi seluruh ruang yang ada. Fatamorgana yang orang sebut
sebagai kesadaran, perlahan mulai menguasai apa yang tersisa. Awalnya aku tidak
sadar atas apa yang bisa diakibatkan karena memperoleh lagi kesadaran. Tetapi
setelah akal sehat mulai bekerja, saat itulah aku menyadarinya.
Sial. Tekanan
itu datang lagi.
Tekanan yang
bisa membuatku meringkuk, memeluk lutut sendiri saking menyerahnya aku terhadap
kehancuran yang terhampar luas di depan mata. Tidak ada ujung. Tidak ada akhir
dari semua keadaan buruk ini.
Mataku yang
masih bengkak tidak sengaja melihat sebuah benda yang tergeletak di atas kasur.
Sebuah foto yang masih terbingkai rapih. Sangat kontras dengan keadaanku dan
segala sesuatu yang ada di kamarku saat ini. Mata bengkak, hidung merah, rambut
mengembang buas, kelenjar lakrimalis yang bekerja tanpa henti selama 3 hari 3
malam, kaos troll face dan celana
batik panjang yang sudah sangat kusut. Kelihatannya aku sudah mulai lupa dengan
apa yang dinamakan mandi.
Foto itu, di foto
itu senyumnya selalu sama selama 3 hari. Terlihat begitu hidup.
Hidup?
Mengingat kata
itu, aku langsung panik karena merasa diterkam kenyataan.
“Aino? Aino?”
Aku melompat duduk dan ketakutan melihat sekeliling. Takut dengan segala adegan
yang berputar cepat di otakku sendiri.
Panggilan telpon
pada pagi-pagi buta, sandal rumah bermotif jamur yang membawaku berlari menuju
rumahnya, teriakkanku sendiri yang terdengar memekakkan telinga, matanya yang
tertutup dan para pembohong itu berkata bahwa mata itu tidak akan terbuka lagi.
“Aino? Aino?”
Kuulang lagi panggilan itu, tapi tetap tidak ada jawaban.
Kufikir aku akan
mulai menangis histeris seperti yang sudah aku lakukan selama 3 hari 3 malam
tanpa henti. Tetapi muncul suatu perasaan lain selain perasaan sedih dan
frustasi yang kufikir sudah terlalu menguasai.
Suatu perasaan
yang lebih menyesakkan dan destruktif dibandingkan dengan perasaan depresi yang
sudah mulai mengikis akal sehat.
Aku
menggertakkan gigi kuat-kuat dan merasakan energi mengaliriku dengan deras.
Kuambil bantal panjang bermotif angry
bird yang sudah pasrah menerima segala perlakuanku terhadapnya selama 3
hari ini.
Kuangkat sang
bantal ke arah kanan dan menghempaskannya dengan tenaga penuh ke arah lampu
kamar yang kemudian melayang menuju dinding sehingga pecah berkeping-keping.
Melihat sang lampu yang sudah pecah dengan sangat parah, aku semakin menggila
dengan cara berteriak histeris sembari menghantam segala benda yang ada di atas
meja belajarku. Lampu belajar, bingkai-bingkai foto, dan handphoneku pecah ke
segala arah.
Aku masih
berteriak histeris sembari memecahkan segala barang yang bisa kupecahkan saat
Gyna, saudara kembar Aino, memasuki kamar dan menerima hantaman telak dari
sebuah patung cendrawasih tepat di kepalanya.
Mendengar suara
pekikkan kesakitan dari arah pintu, aku menoleh dan mendapati darah mulai
mengucur dari dahi Gyna. Lensa kiri kacamatanya juga rusak akibat hantaman
keras barusan. Tetapi begitu tatapan Gyna bertemu dengan tatapanku, ia melepas
kacamatanya dengan gemetar kemudian berjalan kearahku perlahan-lahan
seakan-akan aku ini harimau terluka yang bisa menerkamnya kapan saja. Dan aku yakin
keadaanku saat ini memang terlihat seperti itu.
“Misa? Misa
kenapa?”
Aku tetap diam
di tempatku berdiri. Tidak bergerak maju ataupun mundur. Mataku mempelajari
setiap guratan yang terlukis pada wajah Gyna. Dahinya yang mengkerut prihatin
sudah dihiasi noda darah. Bibirnya merapalkan kata-kata penenang padaku tetapi
aku tidak tertarik mendengarnya. Kesadaranku akan wajahnya yang terlalu mirip
dengan Aino, memperparah energi ini. Bagaimana mereka bisa begitu mirip padahal
Aino pria dan Gyna adalah seorang wanita?
Rasanya ingin
sekali aku maju kemudian mengguncang-guncang tubuhnya sembari berteriak,
‘kenapa kau pergi?! Kenapa kau bodoh sekali sehingga membiarkan Tuhan
mengambilmu dariku?! Kenapa kau idiot sekali sehingga memberikan nyawamu pada
Tuhan?!’ Ingin sekali rasanya kulakukan itu tanpa mempedulikan bahwa ia adalah
Gyna, bukan Aino.
Tetapi yang
terjadi, aku justru diam. Membiarkan Gyna mendekatiku. Walaupun aku sadar bahwa
tatapan liarku padanya tidak kunjung surut.
“Misa kenapa?”
Pertanyaan bodoh
itu, hanya kujawab seadanya. “Aku marah.”
“Marah?” Gyna
menatapku ragu, “marah kenapa? Pada siapa? Ayo kemari, kita duduk dulu supaya
kau bisa lebih tenang.”
“Aku marah. Pada
saudara kembarmu yang idiot itu.”
Tatapan Gyna
padaku terlihat semakin ragu, padahal tadinya kukira ia akan tersinggung. “Kau
marah pada Aino? Bagaimana bisa? Kenapa?”
“Bagaimana
bisa?” Suaraku mulai meninggi, “bagaimana bisa, katamu? Karena dia
meninggalkanku. Karena dia membunuh dirinya sendiri. Karena dia pergi dengan
cara seperti itu. Aku benci padanya. Aku benci Aino. Dia idiot. Aku benci!”
Gyna menatapku
seperti sedang berusaha mengetahui setan apalagi yang merasukiku. “Aku mengerti
perasaan kehilanganmu, perasaan ditinggalkan itu. Bagaimanapun juga aku saudara
kembarnya. Jadi aku juga mengerti bagaimana rasanya saat sebagian jiwamu
dirampas tiba-tiba.”
“Kau jelas-jelas
tidak mengerti. Karena kau baik-baik saja. Kau tidak menangis 3 hari 3 malam
ataupun mengamuk memecahkan segala barang yang bisa kau pecahkan.”
“Merasa
kehilangan tidak berarti harus bersikap destruktif terhadap diri sendiri maupun
lingkungan.” Suaranya datar. Tetapi justru nada itulah yang menusukku sampai ke
ulu hati.
Mataku
memincing, “kau mencelaku?”
“Iya.” Matanya
mulai menatapku tidak suka. Sangat berbeda dengan tatapan prihatin sebelumnya.
Kelihatannya ucapanku benar-benar sudah menyinggungnya.
Mendapati reaksi
Gyna, aku mulai terkekeh pelan. Lalu
kekehan itu berubah menjadi tawa yang semakin lama semakin dahsyat. Gyna mulai
menatapku heran, “kenapa kau tertawa? Apa yang lucu?”
“Kau!” sentakku.
“Kau marah! Kau marah! Kau marah padaku. Kau marah karena aku menghina saudara
kembarmu. Itu akan membuatmu sadar bahwa kau menganggap saudara kembarmu begitu
berharga dan kau akan mulai merasakan kehilangan yang sesungguhnya.” Aku
tersenyum jijik, “aku membantumu mengerti bagaimana rasanya kehilangan.”
“Misa, kau ini
kenapa? Kenapa kau jadi seperti ini? Aku tahu kau begitu mencintai Aino, tetapi
bukan begini caranya. Ini akan membuatnya tidak tenang di surga.”
“Tidak!” Aku
berteriak histeris, “Aino tidak akan pernah masuk surga! Orang yang membunuh
dirinya sendiri tidak akan pernah diperbolehkan menginjakkan kaki di surga. Ia
akan disiksa di neraka dengan ribuan silet yang memotong-motong seluruh
nadinya. Bukankah itu yang ia inginkan?! Memotong nadinya agar bisa pergi dari
dunia ini. Agar bisa pergi meninggalkanku!”
Tamparan Gyna
menghantam pipi kiriku dengan sangat keras. Aku sampai tidak bisa merasakan
pipiku selama beberapa saat, “kau… menamparku? Kau berani menamparku?!”
“Iya!” Giliran
dia yang berteriak histeris, “jangan pernah menghina Aino seperti itu! Tuhan
tidak akan sekejam itu padanya. Kau tahu betapa baiknya Aino selama ia hidup
walaupun ia mengakhiri segalanya dengan cara seperti itu. Tentu saja Tuhan
tidak akan menyiksanya seperti yang kau katakan tadi!” Air mata mulai mengaliri
pipinya, “dan dia tidak pernah bermaksud meninggalkanmu. Dia juga pasti akan
merasa bersalah jika ia tahu bahwa tindakannya berakibat sebegini hebat padamu.
Aino tidak akan suka melihatmu menghancurkan diri sendiri seperti ini.”
Aku menutup
telinga dengan kedua tanganku, menutup mataku kuat-kuat, dan mulai meringkuk di
lantai. “Jangan mengatakan apa-apa lagi. Aino itu bodoh dan aku membencinya.
Itu tidak akan pernah berubah.”
“Misa…”
Itulah kata
terakhir yang kudengar sebelum akhirnya aku jatuh tersungkur dan kembali
meninggalkan dunia nyata dengan segala kisah pedihnya.
*
“Misa.”
Aku merasa
namaku dipanggil sehingga refleks menoleh ke arah sumber suara. Di sana, beberapa
langkah dariku, berdiri Aino yang sedang tersenyum sedih.
Melihat wajahnya
yang begitu kurindukan sampai-sampai mau mati rasanya, memberiku semacam sebuah
kesimpulan yang melayang lembut di otakku.
“Kau tahu,
Aino.” Aku berjalan menghampirinya yang tetap diam di tempat, “aku sekarang
sudah tahu apa yang harus kulakukan.”
Aino tersenyum
lembut, “apa itu, Misa?”
“All I have to do is just welcome you home.”
Mendengar
pernyataanku barusan, Aino tertawa bahagia kemudian memelukku dengan sangat
erat. Ia mengangkat tubuh mungilku kemudian kami tergelak bersama. Persis
seperti yang sering kami lakukan ketika ia masih hidup.
Tidak. Aino
memang masih hidup.
Ia akan selalu
hidup selama aku tidak melupakannya. Aku tidak perlu marah terhadapnya karena
meninggalkanku sebab faktanya ia tidak pernah meninggalkanku. Ia pasti memiliki
alasan tersendiri mengapa ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dan aku
harus menghormati apapun itu alasannya. Yang harus kulakukan sekarang hanyalah membiarkannya
pulang, kembali ke rumah Tuhan sebagaimana ia berasal.
Aku tidak perlu
marah atas segala perilaku Tuhan. Karena Tuhan memang tidak pernah merenggutnya
dariku. Ia tidak akan pernah bisa. Aku tahu itu dan aku berterimakasih atasnya.
Comments
Post a Comment