Mungkin, Masanya Memang Sudah Habis

Beberapa hal yang terjadi selama beberapa hari terakhir membuatnya mati rasa. Perihal keluarga, perkuliahan, lembaga, semuanya. Ia kebas. Ia kaku.

Malam ini, ia hanya ingin ke pusat perbelanjaan yang selalu ia datangi paling tidak satu kali seminggu.
Bukan untuk berbelanja sepatu atau perona pipi seperti gadis kebanyakan.
Ia hanya butuh ketenangan di sudut kedai kopi atau restoran sushi, tempat di mana ia selalu dapat menemukan keheningan absolut yang ia butuhkan. Keheningan yang ia dapatkan di tengah pikuk dan tawa insan-insan yang bercengkrama di sekitarnya.

Tetapi, malam ini, kakinya melangkah menuju toko buku. Bukan untuk masuk  ke dalam toko dan membenamkan dirinya dalam esai Cak Nun, melainkan ia berdiri di samping luar toko, memandang bagian earphones melalui kaca yang menjadikannya bagian dari lingkungan jika toko buku itu ialah sistem.

Ia melihat dirinya, yang berdiri memandangi belasan earphones dengan wajah gembira sekaligus cemas. Dirinya dari masa dua bulan lalu, yang sibuk berbincang dengan pegawai toko perihal earphones mana yang terbaik, karena pengetahuannya akan musik dan alat-alat pendukungnya sangatlah minim. Tetapi ia ingin tahu. Ia ingin belajar.

Gadis itu hanya dapat berdiri memandangi dirinya melalui kaca pembatas dan bergumam, "Hentikan, bodoh." Ia hanya mampu menatap dirinya dua bulan lalu yang begitu bersemangat merencakan ulang tahun terbaik bagi seseorang yang dikasihinya, yang bahkan baru akan berulang tahun lebih dari setengah tahun lagi.

Ia tidak kuat memandang sepasang mata  itu, sepasang mata yang memandangi belasan earphones dengan penuh asa dan keseriusan. Sepasang mata miliknya dua bulan lalu...

Sampai akhirnya ia memutuskan cukup dan melangkah pergi meninggalkan dirinya dari masa dua bulan lalu yang masih berdiri di hadapan belasan earphones dengan tatapan penuh binar.

Kemudian ia melangkah menuju bioskop. Ia tidak ingin menonton pertemuan kembali Rangga dan Cinta. Ia hanya ingin menikmati riuhnya lalu lalang.

Sampai akhirnya langkahnya berhenti di dekat eskalator sembari tatapannya tertuju pada suatu meja di ujung timur food court. Meja yang terdapat tepat di depan kios makanan cepat saji.

Lagi-lagi dirinya mendapati sosok lampaunya. Kali ini sosok dari 4 bulan lalu.

Sosok lampaunya yang bahkan tidak mampu menghabiskan kentang goreng yang dipesannya sehingga teman makannyalah yang harus membantu menyantap habis kentang gorengnya.

Sosok lampaunya yang menonton tayangan di tv yang tergantung di atas wastafel food court dan berkata, "Gue suka buaya." Kemudian matanya beralih memandang teman makan sosok lampaunya yang memasang wajah kaget lalu tertawa karena tidak menyangka gadis di hadapannya ternyata seorang pecinta reptil garis keras.

Padahal jarak berdiri gadis itu hanya beberapa meter dari kedua sosok dari 4 bulan lalu yang terlihat mengobrol dan tertawa lepas di food court sembari menunggu film yang akan mereka tonton dimulai.

Tetapi, ia mampu merasakan jarak yang sangat jauh. Jarak yang hanya mampu seseorang rasakan ketika ia mencicip ingatan yang berasal dari masa lampau.

Ia menatap kedua insan tersebut yang masih berbincang sembari menghabiskan beberapa kentang goreng terakhir. Dan, pada titik itulah ia sadar,

"Oh. Mungkin, masanya memang sudah habis."

- Shirokuma Margo City, 2 Mei 2016

Comments

Popular posts from this blog

Ramadan adalah Tentang Kembali Kepada Diri Sendiri

Laylatul Qadr: Malam Penuh Renungan

Berserikat di Tanah Rantau