Coretan Dua Cangkir Kopi





Manusia dibuat percaya bahwa kebahagiaan senantiasa hadir beriringan dengan kesedihan. Sudah hukum alam, kata mereka. Walau rasa percaya itu tidak tertanam dalam pikiran, tindakan manusia yang terlihat tidak masuk akal menjadi bukti bahwa kepercayaan tersebut mereka terapkan dalam kehidupan.

Aku, sebut diriku bodoh, adalah salah satu dari mereka yang tanpa sadar memelihara rasa sakit demi setetes kegembiraan. Atas nama cinta, ucapku tanpa beban.

Ribuan petuah dari sahabat berdatangan, aku tahu, dan nasihat-nasihat itu selalu aku iyakan dengan khidmat. Ini bukan contoh kasus masuk telinga kiri keluar telinga kanan, kawan. Jangan menghakimiku dulu. Percayalah, bahwa aku menerima ribuan petuah itu dengan sukarela, mencernanya dengan baik di dalam otak, mengambil intisari bagaimana-kehidupan-seharusnya-berlangsung yang terkandung didalamnya, untuk kemudian memiliki pemikiran realistis seperti yang kawan-kawanku harapkan.

Percaya padaku, kawan, pemikiran realistis itu sudah ada. Syaraf motorikku saja yang masih keras kepala dan belum mampu tergerak. Silakan gigit jari, aku tidak akan menyalahkan jika kalian memakiku dalam perasaan frustasi. Aku juga pasti lelah jika memiliki sahabat yang begitu dungu dan larut dalam angan yang tidak akan menjadi realita.

Aku tidak bisa menyebut diriku sebagai hamba yang taat –karena memang bukan– tetapi aku termasuk hamba yang sering berdoa. Sering, sekali. Entah karena kehidupanku yang sedikit lebih rumit dibandingkan dengan orang kebanyakan atau karena banyaknya keinginan yang bertumbukan dengan realita.

Tidak jarang aku menduga, “Mungkin harapanku terlalu muluk.” Itulah mengapa ribuan petuah terus berdatangan tanpa jeda, pikirku.

“Tidak ada harapan yang terlalu muluk,” ucap mereka yang termasuk dalam golongan gelas setengah penuh.

“Iya, iya,” aku berusaha setuju. Ingin sekali aku mengiyakan kalimat tersebut dengan hati.

“Memang hal muluk apa yang selalu kau sebut di setiap doamu?” tanya mereka, seraya berusaha membuktikan kebesaran Tuhan.

“Aku hanya ingin bisa meminum secangkir kopi tanpa rasa dihantui,” ucapku, “dan bisa terus bersamanya sampai tua nanti.”



- Pondok Cina, 5 Juli 2015


***

Tulisan ini adalah prolog dari cerita pendek yang saya temukan di laptop lama saya.

Tulisan yang saya buat ketika saya sedang berada pada titik terendah; saat saya tidak mampu berdamai dengan realita dan sedang gencar-gencarnya mempertanyakan rencana Tuhan.

Ketika saya tidak dapat menerima fakta bahwa saya tidak diperbolehkan lagi meminum kopi dan fakta bahwa beberapa perbedaan tidak dapat dipersatukan.

Sore itu, saya kira saya tidak akan pernah mampu berdamai dengan segala ketentuan dan rencana Tuhan. Tetapi, siang ini, 10 bulan kemudian, ketika saya membaca ulang cerita pendek yang saya buat, saya tersadar bahwa, time heals literally all wounds. Bahwa semua manusia pasti akan kembali menemukan independensi.

Ketika kamu berpikir bahwa beberapa ketentuan dari Tuhan terlalu berat untuk dijalankan, percayalah, bahwa sesungguhnya, ketentuan-ketentuan itulah yang akan senantiasa menjagamu agar tetap berada pada jalan yang lurus.

Semangat selalu, kawan, karena sebaik-baiknya kisah ialah kisah yang berasal dari Tuhan. :)



- Sekre HMD Biologi UI, 29 April 2016

Comments

Popular posts from this blog

Ramadan adalah Tentang Kembali Kepada Diri Sendiri

Laylatul Qadr: Malam Penuh Renungan

Berserikat di Tanah Rantau